Memahami Qadha’ dan Qadar (Ketentuan dan Takdir Allah)
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran, menyampaikan
amanat kepada ummat dan berjihad dijalanNya hingga akhir hayat. Semoga
shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, berikut para
keluarga, shahabat dan pengikutnya yang setia.
Dalam pertemuan ini, kami akan membahas suatu masalah yang kami
anggap sangat penting bagi kita umat Islam, yaitu masalah Qadha’ dan
Qadar. Mudah-mudahan Allah Ta’ala membukakan pintu karunia dan
rahmatNya bagi kita, menjadikan kita termasuk para pembimbing yang
mengikuti jalan kebenaran dan para pembina yang membawa pembaharuan.
Sebenarnya masalah ini sudah jelas, akan tetapi kalau bukan karena
banyaknya pertanyaan dan banyaknya orang yang masih kabur dalam memahami
masalah ini serta banyaknya orang yang membicarakanya, yang kadangkala
benar tetapi seringkali salah, di samping itu tersebarnya
pemahaman–pemahaman yang hanya karena mengikuti hawa nafsu dan adanya
orang–orang fasik yang berdalih dengan qadha’ dan qadar untuk
kefasikannya, seandainya bukan karena itu semua, niscaya kami tidak
akan berbicara tentang masalah ini.
Sudah sejak dahulu masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang
perselisihan di kalangan umat Islam. Diriwayatkan bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasalam keluar menemui shahabatnya radhiyallahu
‘anhum, ketika itu mereka sedang berselisih tentang masalah Qadha’ dan
Qadar ( takdir ) maka beliau melarangnya dan memperingatkan bahwa
kehancuran umat – umat terdahulu tiada lain karena perdebatan seperti
ini.
.
PENGERTIAN TAUHID & MACAM – MACAMNYA
Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisian di
kalangan umat Islam, tetapi Allah Ta’ala telah membuka hati para
hambaNya yang beriman, yaitu para salaf shaleh yang mereka itu
senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat.
Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah Ta’ala
atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk dalam salah satu diantara
tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:
- Pertama: Tauhid AL-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
- Kedua: Tauhid Ar-Rububiyah,
ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatanNya , yakni mengimani dan
meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam
semesta ini.
- Ketiga: Tauhid Al-Asma’ was- Shifat,
ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam asma’ dan sifatNya. Artinya
mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta’ala dalam
Dzat, Asma’; maupun Sifat.
Iman kepada Qadar adalah termasuk tauhid Ar-Rububiyah. Oleh karena
itu Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Qadar adalah merupakan kekuasaan
Allah Ta’ala “. Karena tak syak lagi, Qadar (takdir) termasuk qodrat
dan kekuasaanNya yang menyeluruh, di samping itu, qadar adalah rahasia
Allah Ta’ala yang tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat
mengetahuinya kecuali Dia, tertulis pada
Lauh Mahfuzh dan tak
ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu, takdir baik atau
buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya,
kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.
.
PENDAPAT–PENDAPAT TENTANG QADAR
Pembaca yang budiman,
Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan :
Pertama:
mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak
dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali
tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya disetir dan tidak
mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak
membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan
perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya, tentu saja mereka ini keliru
dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan
bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang dikehendaki dan
perbuatan yang terpaksa.
Kedua:
mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk
sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena
kehendak dan keinginan Allah Ta’ala serta diciptakan olehNya. Menurut
mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada
diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mengetahui apa
yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun
sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.
Ketiga:
mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk eleh Allah Ta’ala untuk
menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah
Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah
dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat
bahwa perbuatan yang dijadikan Allah Ta’ala di alam semesta ini terbagi
atas dua macam :
1- Perbuatan yang
dilakukan oleh Allah Ta’ala terhadap makhlukNya. Dalam hal ini tak ada
kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya
tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya
yang dapat disaksikan pada makhluk Allah Ta’ala. Hal seperi ini, tentu
saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah
Ta’ala yang maha Esa dan Kuasa.
2- Perbuatan yang
dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini
terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah Ta’ala
menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
“Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28).
مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ
“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran : 152)
فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
“ Maka barang siapa yang ingin ( beriman ) hendaklah ia beriman, dan
barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir “ ( Al-Kahfi: 29)
Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi kerena
kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh,
orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu
kalau perbuatannya atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain
halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut
bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kadua perbuatan
ini, yang pertama atas dasar kumauannya dan yang kedua tanpa
kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.
Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau
air kencingnya keluar tanpa kemauanya. Tetapi apa bila ia sudah
sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia
mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang
mengingkari adanya perbedaan tersebut.
Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui,
perbedaan antara mana yang terjadi dengan kemauannya dan mana yang
tidak.
Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Ta’ala, ada diantara perbuatan
manusia yang terjadi atas kemauanNya namun tidak dinyatakan sebagai
perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan, dan orang yang
sedang tidur. Firman Allah Ta’ala dalam kisah Ashabul Kahfi :
وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ
“..Dan kami balik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al- Kahfi: 18)
Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik
ke kiri, tetapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dia-lah yang
membalik–balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang
tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan
hukuman atas perbuatannya.
Maka perbuatan tersebut dinisbahkan kepada Allah Ta’ala. Dan sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam:
“Barang siapa
yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya, kerena Allah Ta’ala yang
memberinya makan dan minum “
Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum
adalah Allah Ta’ala , karena perbuatannya tersebut terjadi di luar
kesadarannya, maka seakan–akan terjadi tanpa kemauannya.
Kita semua mengetahui perbedaan antara perasaan sedih atau perasaan
senang yang kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa
kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan
tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinya
sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.
Istilah penting :
- Jabri ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan. Jabariyyah adalah pemahaman yang dimaukan orang Jabri.
- Qadari ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. Qadariyyah adalah pemahaman yang dimaukan orang Qadari.
SANGGAHAN ATAS PENDAPAT PERTAMA
Pembaca yang budiman,
Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang
pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya
sia-sialah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak
perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas
perbuatannya yang tercela. Karena pada hakekatnya perbuatan tersebut
dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari pendapat dan paham yang demikian ini.
Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah Ta’ala menyiksa orang yang
berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan
kehendak dan keinginannya.
Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah Ta’ala :
وَقَالَ
قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ . أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ
كَفَّارٍ عَنِيدٍ . مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُّرِيبٍ . الَّذِي
جَعَلَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ
الشَّدِيدِ . قَالَ قَرِينُهُ رَبَّنَا مَا أَطْغَيْتُهُ وَلَكِن كَانَ فِي
ضَلَالٍ بَعِيدٍ . قَالَ لَا تَخْتَصِمُوا لَدَيَّ وَقَدْ قَدَّمْتُ
إِلَيْكُم بِالْوَعِيدِ . مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا
بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan ( malaikat ) yang menyertai dia berkata : ” inilah (catatan
amalnya ) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman: “Lemparkanlah
olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras
kepala; yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi
ragu-ragu; yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka
lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih ). Sedang (
syaitan ) yang menyertai dia berkata : “ ya Robb kami, aku tidak
menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh’.
Allah berfirman : “ Janganlah kamu bertengkar d ihadapanku, padahal
sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di
sisiKu tidak dapat di ubah, dan aku sekali-kali tidak menganiaya
hamba-hambaKu ( Qaaf : 23- 29)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siksaan dariNya itu
adalah kerena keadilanNya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap
hamba-hambaNya. Sebab Allah Ta’ala telah memberikan peringatan dan
ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan
kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka
mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah Ta’ala untuk
membantah keputusanNya.
Andaikata kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah Ta’ala ini:
رُّسُلاً
مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ
حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk
membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana “. (An-Nisaa’: 165)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi
bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah
Allah Ta’ala atas mereka. Maka seandainya masalah qadar bisa dijadikan
alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun
sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar ( takdir) Allah Ta’ala
sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada
sesudah di utusnya mereka.
Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan
nash (dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan
contoh- contoh di atas.
SANGGAHAN ATAS PENDAPAT KEDUA
Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam
menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dengan
nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak
manusia tidak lepas dari kehendak Allah Ta’ala. Firman Allah:
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam “. (At Takwir : 28- 29)
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” ( Al Qashash: 68)
وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)” (Yunus: 25).
Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah
satu dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan
Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak di ciptakanNya. Padahal
Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan
qadar (takdir) nya.
Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya
berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh
seseorang apa bila dia telah di takdirkan Allah tersesat dan tidak dapat
petunjuk ?
Jawabnya : bahwa Allah Ta’ala menunjuki orang-orang yang patut
mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat.
Firman Allah :
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ) Allah memalingkan
hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.
(Ash Shaf : 5)
فَبِمَا
نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَنَسُواْ حَظًّا مِّمَّا
ذُكِّرُواْ بِهِ
“(tetapi) kerena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami
jadikan hati mereka keras mambatu, mereka suka merobah perkataan
(Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebahagian dari apa yang mereka yang telah diberi peringatan
dengannya” . (Al Ma`idah : 13)
Di sini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang
yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana
telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang
telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala untuk dirinya. Karena dia tidak
mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu
apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi
orang yang mendapat petunjuk.
Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu
berdalih bahwa Allah Ta’ala telah menghendakinya demikian? Apa tidak
lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa
Allah Ta’ala telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran.
Pantaskah dia menjadi orang yang
jabri kalau tersesat dan
qadari kalau berbuat kebaikan ?
Sungguh tak pantas seseorang menjadi jabri ketika berada dalam
kesesatan dan kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat
kepada Allah Ta’ala ia mengatakan : “ ini sudah takdirku, dan tak
mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah”; tetapi
ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufiq dari Allah untuk
berbuat ketaatan dan kebaikan ia mengatakan : “ini kuperoleh dari
diriku sendiri”. Dengan demikian ia menjadi qadari dalam segi ketaatan
dan menjadi “jabri” dalam segi kemaksiatan.
Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan.
Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu.
Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan untuknya
rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk
mencari rizki ke sana dan kemari baik di daerahnya sendiri atau di luar
daerahnya. Tidak duduk di rumah saja saraya berkata : “ kalau sudah
ditakdirkan untukku rizkiku tentu ia akan datang dengan sendirinya”.
bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini
disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan, sebagaimana di sebutkan
dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya
kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh
hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama
empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama
empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus seorang malaikat yang diberi
tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal
perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka atau bahagia”.
Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk juga telah tercatat.
Kalau begitu, mengapa anda pergi kesana dan kemari untuk mencari
rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akherat
dan mendapatkan kebahagiaan surga? padahal kedua-duanya adalah sama,
tidak ada perbedaannya.
Jika anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan
kelangsungan kehidupan anda, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun
untuk mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda
tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak
berkurang. Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata : “ sudahlah aku
tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit , kerena kalaupun aku
di takdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”. Bahkan anda berusaha
sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat
menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Jika
demikian, mengapa usaha anda di jalan akherat dan dalam amal shaleh
tidak seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi?
Sebagaiman telah aku kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah
Ta’ala yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat mengetahuinya. Sekarang
anda di antara dua jalan: jalan yang membawa anda kepada keselamatan,
kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan ; dan jalan yang dapat membawa
anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang
berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih
tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang
kanan atau jalan yang kiri. Anda dapat pergi kemanapun sesuka hati
anda. Lalu mengapa anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih
bahwa” itu sudah takdirku”? apa tidak lebih patut jika anda memilih
jalan kanan dan mengatakan bahwa “ itu takdirku” ?
Untuk lebih jelasnya, apa bila anda mau bepergian ke suatu tempat
dan di hadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan
lebih aman ; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan.
Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan
lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan
tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan
yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadangkala hawa
nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal.
Padahal, sebagai seorang mu’min seyogyanya akalnyalah yang harus
lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan
akalnya, maka akal itu menurut pengertian yang sebenarnya akan
melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang
bermanfaat dan membahagiakan.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak
dan pilihan dalam perbuatan yang di lakukannya secara sadar, bukan
terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk
kepentingan dunia, maka iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya
menuju akherat. Bahkan jalan menuju akherat lebih jelas. Karena Allah
Ta’ala telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda RasulNya
Shalallahu ‘alaihi wassalam , maka jalan menuju akherat tentu saja
lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia.
Namun kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang
tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang
telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji
Allah Ta’ala , dan Allah Ta’ala tidak akan menyalahi janjiNya.
Pembaca yang budiman,
Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang
menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas
dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan
kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Ta’ala. Dan
Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala tidak
lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak yang mutlak dan
absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah
kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah Ta’ala adalah AL- HAKIM
yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan
bijaksana dalam keputusanNya.
Allah Ta’ala dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa
yang di kehendakiNya yang menurut pengetahuanNya benar-benar
menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat
hikmahNya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan
kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah
Ta’ala tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan
termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Ta’ala
memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Ta’ala maha
Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa
setiap sebab berkait erat dengan dengan akibatNya
.
TINGKATAN QADHA’ DAN QADAR
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :
- Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)
Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas
segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi,
secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri
atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.
- Kedua : Al-kitabah (penulisan)
Artinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu
terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)
Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Ta’ala mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang
demikian itu tertulis dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.
Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
“ Pertama
kali tatkala Allah Ta’ala menciptakan qalam (pena), Dia firmankan
kepadanya : Tulislah!. Qalam itu berkata : “ya Tuhanku, apakah yang
hendak kutulis?” Allah Ta’ala berfirman : “Tulislah apa saja yang akan
terjadi!” maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala
sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”.
Ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang apa
yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak? beliau
menjawab:
“sudah ditetapkan”.
Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah
saja dengan takdir yang sudah tertulis? Beliaupun menjawab :
“Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”. Kemudian beliau mensitir firman Allah:
فَأَمَّا
مَن أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى . وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى .
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa,
dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan
baginya (jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa
dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami
akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5–10)
Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada
para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.
- Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).
Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di
langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini
dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah
menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para
hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. (Al–An’am : 112)
وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”. (Al–Baqarah: 253)
Dalam ayat–ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya.
Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah:
وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
“Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap–tiap jiwa petunjuk (bagi) nya”. (As Sajdah: 13)
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. (Huud : 118)
Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya.
Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar
(takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi
segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan
kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di
bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.
- Keempat : Al–Khalq ( penciptaan )
Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada
di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala.
Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan Allah.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)
Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Ta’ala.
Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil
perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung,
sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya
adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk
ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah
Ta’ala.
Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami,
bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita
lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?
Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini
timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa
bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka
perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia
adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang
menciptakan akibatnya.
Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan
manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul
karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada
kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena
andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat,
begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan
terjadi suatu perbuatan.
Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan
kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan
kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini
dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah
Ta’ala.
Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang
bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa,
yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang
berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan
kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan
alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk
Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa
manusia sebagai pelaku perbuatan.
Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan
api dapat membakar adalah Allah Ta’ala. Api tidak dapat membakar dengan
sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya,
tentu ketika nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api, akan
terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera
sedikitpun, karena Allah Ta’ala berfirman pada api itu:
يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. (Al Anbiya’: 69)
Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal afiat.
Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah
yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar.
Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan
pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja,
Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka
secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia.
Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena
dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.
.
PENUTUP
Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mu’min harus ridha kepada
Allah Ta’ala sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridha-Nya
yaitu mengimani adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam
masalah ini tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia,
rizki yang dia usahakan dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya
adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan. Dan setiap manusia
dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya.
.
Selesai.